Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SANDIWARA PERADILAN ATAU PERADILAN SANDIWARA..??

Sudah sering kita mendengar kenyataan pahit dalam dunia peradilan di negara ini, dimana keputusan peradilan justru tidak lagi mencerminkan nilai-nilai keadilan. Vonis yang terbit sering menuai kontroversi serta bertentangan dengan azas kebenaran dan kejujuran. Pengadilan tidak lagi menjadi tempat untuk memperoleh keadilan, namun telah beralih fungsi menjadi ajang jual beli vonis. Dalam kasus kriminal biasa, vonis pengadilan dapat dibeli dengan uang. Namun dalam kasus pidana khusus, serta kasus sengketa lainnya vonis pengadilan diintervensi oleh kekuatan politik baik dari kekuatan politik dari dalam negeri maupun kekuatan politik luar negeri terbukti sanggup mempengaruhi hasil keputusan pengadilan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum di negara ini.



 Sebuah contoh, pada hari ini majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis hukuman penjara 4 tahun dan denda 200 juta rupiah atau subsider 5 bulan kurungan kepada Ratu Atut Choisiyah atas keterlibatan Gubernur Banten tersebut dalam kasus penyuapan yang juga melibatkan mantan Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Hukuman tersebut 

Vonis tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Tipikor yang menuntut agar Ratu Atut dijatuhi hukuman selam 10 tahun penjara dengan denda 250 juta rupiah subsider 5 bulan hukuman kurungan. Selain tuntutan tersebut, JPU KPK juga meminta agar hak politik Atut dalam pemilihan umum dicabut. Menurut JPU KPK, Atut sudah terbukti melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Vonis tersebut sangat ringan, mengingat bahwa dalam jalannya persidangan Ratu Atut  terbukti bersalah secara bersama-sama dengan adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan melakukan suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar. Uang itu diberikan terkait pengurusan sengketa ‎Pilkada Kabupaten Lebak 2013.

Mari kita bandingkan dengan vonis yang dijatuhkan terhadap Luthfi Hassan Ishaaq yang dijerat dalam kasus serupa. Dari jalannya persidangan terungkap beberapa fakta penting, diantaranya:

1. LHI tidak menerima uang sepeserpun dari PT.Indoguna.
2. PT.Indoguna menyerahkan uang kepada Fathonah, namun uang tersebut sama sekali tidak diserahkan kepada LHI. Fathonah memberi kesaksian bahwa dia hanya mengatasnamakan (nyatut nama) LHI saat meminta uang dari PT. Indoguna Utama, tanpa sepengetahuan LHI.
3. Tidak ada perubahan dalam kuota impor daging.
4. Dalam persidangan Tipikor dengan terdakwa Dirut PT.Indoguna Utama Maria Elizabeth, kembali Fathonah mengaku bahwa dia cuma nyatut nama LHI. Maria pun menyahut "Berarti anda (Fathonah) penipu dong.!". Dan dalam kesempatan itu Fathonah juga  meminta maaf kepada Maria dan LHI, karena telah menyatut nama LHI.

Meski proses persidangan tersebut disaksikan oleh jutaan pasang mata, ternyata tidak membuat Hakim Tipikor bersikap adil, para Hakim Pengadilan Tipikor tidak merasa malu menjatuhkan vonis 16 tahun penjara dan denda sebesar 1 milyar rupiah kepada LHI. Walaupun banyak pengamat hukum yang menilai 
bahwa vonis tersebut tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran.

Jika kita menengok ke persidangan gugatan Pilpres 2014, dimana pihak penggugat telah menyampaikan banyak bukti-bukti yang mengindikasikan telah terjadi kecurangan yang sistematis, terstruktur dan masif, berupa bukti form C-1 dan video yang memuat terjadinya kecurangan, namun tetap saja majelis hakim MK memutuskan menolak seluruh gugatan dari Tim Prabowo-Hatta.

Pada persidangan gugatan Pilpres 2014, para Hakim MK tersandera oleh beberapa hal, diantaranya tenggat waktu proses persidangan yang terlalu singkat. Menurut UU No.42 tahun 2008 tentang Pilpres, MK hanya memiliki waktu 14 (empat belas hari) hari untuk memutuskan gugatan Pilpres. yang jadi masalah, apakah dalam tenggat waktu yang singkat tersebut Hakim MK bisa memeriksa seluruh dokumen bukti yang berjumlah lebih dari 10 ribu lembar..?? Jika bukti-bukti tersebut tidak diperiksa, lantas apa dasaran MK dalam memutuskan perkara tersebut..?? Buat apa MK meminta barang bukti jika akhirnya tidak diperiksa dengan alasan "tidak ada cukup waktu"..??

Seperti itulah kondisi sitem peradilan saat ini, dimana vonis yang diputuskan sangat tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

Jika sistem peradilan kita terus seperti ini, Kemana rakyat harus pergi untuk bisa mendapatkan keadilan di negara ini..??

Atau haruskah rakyat yang menggelar peradilan sendiri agar bisa mendapatkan sebuah keadilan..??


Semoga artikel ini bisa membuka mata hati aparat hukum di NKRI, sebelum rakyat mencapai titik jenuh dan akhirnya malah menggelar apa yang disebut dengan MAHKAMAH RAKYAT..





























































  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Semoga keadilan terus ditegakkan oleh kita , imam mahdi akan segera datang menumpas kebatilan,,, http://bit.ly/ShopHerb

Posting Komentar