Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Keadilan

Assalamu alaikum.

Keadilan, adalah sebuah kebutuhan vital manusia sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama universal telah menjadikan keadilan sebagai pilar tegaknya syari'at.Seperti yang tertuang dalam Al-Qur'an:

"Wahai orang-orang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak kebenaran karena Allah, (ketika) menadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan." (QS.Al-maidah : 8)

"Sesungguhya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat" (QS.An-Nisa : 58)


Keadilan yang dimaksud oleh ayat diatas tidak hanya berlaku dalam lingkup internal ummat, namun juga terhadap seluruh manusia dimuka bumi. Adapun keadilan tersebut mencakup dalam seluruh aspek kehidupan, antara lain:


1. Dalam Lingkup Tata Negara dan Pemerintahan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a., ada  Gubernur Mesir yang bernama Amr bin ‘Ash dan dia berniat untuk membangun sebuah masjid di samping istananya yang megah itu. Namun keinginannya itu terbentur dengan adanya lahan atau rumah yang harus digusur, dan rumah tersebut ternyata dimiliki oleh seorang Yahudi tua.

Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil orang Yahudi itu dan meminta agar dia mau menjual tanahnya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat untuk menjual tanahnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran yang cukup tinggi dengan harga lima belas kali lipat dari harga pasaran, tetapi tetap saja orang Yahudi itu menolak untuk menjual tanahnya.
Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut. Sementara si Yahudi tua itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan kemudian dia berniat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
Akhirnya orang Yahudi itu pergi ke Madinah untuk mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab, walaupun dengan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Begitu tiba di Madinah, orang Yahudi itu merasa takjub, karena Khalifah Umar bin Khattab tidak memiliki istana yang megah seperti istananya Amr bin ‘Ash dan bahkan dia diterima Khalifah Umar bin Khattab hanya di halaman Masjid Nabawi di bawah naungan pohon kurma. Selain itu penampilan Khalifah Umar bin Khattab amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas.
“Ada keperluan apa kakek datang ke sini, jauh-jauh dari Mesir?” tanya Umar bin Khattab.
Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan penuh wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Dia bercerita pula tentang bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu, di mana dia sejak muda bekerja keras sehingga dapat membeli sebidang tanah dan membuat gubuk di atas tanah tersebut.
“Akan tetapi, wahai Khalifah Umar, sungguh sangat menyedihkan. Harta satu-satunya yang aku miliki sekarang telah sirna, karena telah dirampas oleh Gubernur Amr bin ‘Ash”, kata orang Yahudi itu tanpa rasa takut.
Laporan tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab marah dan wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda, kemudian orang Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkannya tulang itu kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi tersebut sambil berpesan: ”Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin ‘Ash”, jelas Khalifah Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang yang telah digores dan memberikannya kepada Gubernur Amr bin ‘Ash. Gubernur Amr bin ‘Ash yang menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reot milik orang Yahudi itu.
“Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar.
Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!” teriak orang Yahudi itu.
“Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”, kata orang Yahudi itu lagi.
Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.”
“Mengapa ini bisa terjadi. Aku hanya mencari keadilan di Madinah dan hanya mendapat sebongkah tulang yang busuk. Mengapa dari benda busuk tersebut itu gubernur menjadi ketakutan?” kata orang Yahudi itu.
“Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, apa pun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas Gubernur Amr bin ‘Ash.
Orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”.
Akhirnya orang Yahudi itu mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan masjid dan dia sendiri langsung masuk agama Islam.
2. Keadilan Dalam Lingkup Kemasyarakatan.
Ali bin Abi Thalib merupakan Khalifah keempat yang meneruskan jejak pemerintahan Islam. Dia terkenal sebagai sosok yang cerdas dan mendapat gelar sebagai 'gerbang ilmu'.

Selain itu, keadilan Ali sebagai seorang Khalifah juga tidak kalah dengan keadilan para khalifah sebelumnya. Bahkan, dia pun mau menaati putusan hakim yang diangkatnya sendiri.

Pada suatu waktu, Ali mengenali sebuah baju zirah yang dibawa oleh seorang Nasrani. Ali yakin betul baju itu adalah miliknya yang telah lama hilang. Sehingga, Ali kemudian mencoba meminta baju zirah itu kepada si Nasrani.

Tetapi, si Nasrani itu tidak mau memberikan baju zirah tersebut dan berkukuh bahwa baju itu miliknya. Karena tidak menemukan titik temu, maka Ali mengajak menyelesaikan masalah itu di hadapan hakim.

Ketika sudah berada di hadapan hakim, yang saat itu dijabat oleh Syarah, Ali menjelaskan permasalahan yang terjadi. Kemudian, hakim itu bertanya kepada si Nasrani, "Apa pembelaanmu terhadap apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?"

"Baju zirah ini milikku. Dia telah menuduhku. Seharusnya dia tidak berhak melakukan hal itu," ujar si Nasrani.

Kemudian, hakim itu kembali bertanya kepada Ali, "Apakah kau punya bukti bahwa itu adalah baju zirahmu?"

Ali pun menjawab, "Ya, kau benar. Aku tidak punya bukti kuat."

Sang hakim kemudian bertanya, "Apakah kau punya saksi yang bisa menguatkan tuduhanmu?" Ali pun berencana mengajukan putra, Hasan, untuk menjadi saksi.

"Dia tidak dapat menjadi saksi bagimu," ucap sang hakim.

Ali pun berusaha mendebat. "Bukankah kau Ingat sabda Rasulullah melalui Umar bahwa Hasan dan Husein adalah dua pemimpin ahli surga?" kata dia.

"Tetap saja dia tidak bisa bersaksi kepadamu," jawab sang hakim.

Syarih kemudian memutuskan baju zirah itu adalah milik si Nasrani. Mendengar putusan itu, si Nasrani gembira dan segera mengambil baju zirah itu untuk dibawanya pulang.

Belum jauh meninggalkan pengadilan, si Nasrani itu kemudian kembali lagi. "Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi. Amirul Mukminin membawaku ke pengadilan yang hakimnya diangkatnya sendiri, tetapi ternyata keputusan yang diambil hakimnya merupakan keputusan yang justru memberatkan Amirul Mukminin. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hai Amirul Mukminin, baju zirah ini, demi Allah, adalah baju zirahmu. Aku telah mengambil beberapa barang dari kudamu ketika engkau pergi ke Shiffin," kata si Nasrani yang telah masuk Islam.

"Kau telah memeluk Islam. Baju zirah ini untukmu," kata Ali.

Meskipun Ali sendiri telah mengangkat hakim, dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan pengadilan. Demikian juga Syarih, selaku hakim, dia memutus perkara tanpa memperhatikan siapa yang berperkara.
3. Dalam Lingkup Keluarga.
Suatu ketika ada seorang lelaki yang sudah suntuk dengan prilaku istrinya yang menurutnya sudah melampaui batas. Saking nggak kuatnya dia ingin meminta fatwa kepada Khalifah Umar r.a apa yang harus dia lakukan terhadap istrinya.
Ketika sampai di rumah sang khalifah, dia melihat istri Umar r.a sedang ngomel panjang pendek sementara Umar diam saja, meski sebenarnya dia bete juga.
Melihat raut muka sang pemimpin ummat tersebut, lelaki tadi mengurungkan niatnya untuk mengadu, tetapi belum sampai dia beranjak dari halaman, sang khalifah memanggilnya.
“Wahai kisanak, ada keperluan apa engkau kemari?”
Sang tamu menghentikan langkahnya dan kembali menemui Umar,
“Sebenarnya saya datang kemari karena hendak meminta fatwa terkait dengan prilaku istri saya, tetapi saya melihat anda sedang dimarahi istri maka saya mengurungkan niat saya”
“Memangnya apa yang telah dilakukan istrimu kepadamu?”
Kemudian dia menceritakan betapa buruknya perlakuan istrinya dan dia sudah merasa tidak kuat.
“Wahai saudaraku, (meski aku juga mengalami sepertimu tetapi) aku selalu berusaha bersabar atas perlakuannya. Karena ada banyak hak-hak istriku yang seharusnya menjadi kewajibanku. Dia telah menyiapkan makanan untukku, mencucikan bajuku dan juga menyusui anakku. Semua itu adalah bukan kewajibannya (karena seorang suami seharusnya membayar orang lain – pembantu - untuk mengerjakan semua itu – termasuk juga menyusui karena di zaman itu sudah lazim menyusukan anak kepada orang yang bisa di upah) – selain itu keberadaannya juga membuat hatiku tenang dan tidak terjerumus melakukan hal yang haram (zina).”
“Istriku juga demikian ….,” jawab orang tadi
“Sabarlah wahai saudaraku, semua ini hanya sebentar…”

Dari rangkaian kisah diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa tingginya jabatan bukan menjadikan para khalifah menjadi arogan dan menjadikan rakyat dan keluarganya sebagai "sapi perahan". Dan tidak pula tingginya jabatan menjadikan para khulafaur rasyidin memperkaya diri, keluarga serta kroni-kroninya.

Beliau justru beranggapan bahwa jabatan yang diemban adalah amanah yang harus dijalankan.

Dalam Islam, tidak ada diskriminasi hukum, bahkan Rasulullah akan bertindak tegas terhadap keluarganya sendiri, seperti yang dilukiskan dalam hadits riwayat Aisyah ra.
"Bahwa orang-orang Quraisy sedang digelisahkan oleh perkara seorang wanita Makhzum yang mencuri. Mereka berkata: Siapakah yang berani membicarakan masalah ini kepada Rasulullah saw.? Mereka menjawab: Siapa lagi yang berani selain Usamah, pemuda kesayangan Rasulullah saw. Maka berbicaralah Usamah kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu meminta syafaat dalam hudud Allah? Kemudian beliau berdiri dan berpidato: Wahai manusia! Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu ialah, manakala seorang yang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka akan melaksanakan hukum hudud atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya." (Shahih Muslim No.3196)

Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita, bahwa keadilan itu mutlak ditegakkan tanpa ada diskriminasi.

Ittaqullaha innallaha khobiirum bimaa ta'maluun, wabillahi taufiq wal hidayah, assalamu alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar