Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Persepsi Ummat Mengenai Jabatan dan Penggunaan Fasilitas Negara Oleh Pejabat Negara.

Assalamu alaikum..

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membericarakan sesuatu.

”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.

”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.

Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.

”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.

”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.

Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.

"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah."

Begitulah perangai pejabat sejati. Ternyata, puncak kejayaan di berbagai bidang tak lantas membuat Umar bin Abdul Aziz terperdaya. Meski prestasinya banyak dipuji, pemimpin berjuluk ”khalifah kelima” ini tetap bersahaja, amanah, dan sangat hati-hati mengelola aset negara. 


Dari kisah diatas, dapat kita kita saksikan bagaimana sosok pejabat pemerintahan yang amanah dalam mengggunakan fasilitas negara. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan, cara menyikapi permasalahan mengenai jabatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah :
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ”
[HR Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146]

Masih berkaitan dengan permasalahan diatas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” 
[Shahih, HR. Muslim no. 1825]

Begitu juga dengan para ulama  menyikapi permasalahan jabatan, berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan. ” 
[Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469]


Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi. ”
Dari untaian dalil diatas,jeas sekali bahwa Rasulullah serta Ulama generasi awal (salafush shalih) telah mengetahui efek buruk yang timbul ditengah ummat tatkala rasa cinta terhadap jabatan telah merasuki jiwa dan pola berfikir masyarakat. 
Fenomena tersebut dapat kita saksikan saat ini, disaat ajang pemilu sedang digelar.. Berbagai kerusakan moral dengan jelas dapat kita saksikan, dari mulai politik uang (money politics), kampanye negatif terhadap rival politik (black campaign), penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye capres, kampanye terbuka yang menampilkan atraksi dari artis dangdut berbusana minim serta dilengkapi dengan gerakan erotis. Semua kemaksiatan dengan jelas mewarnai peristiwa yang disebut sebagai PESTA DEMOKRASI.
Para elit politik seolah sengaja melupakan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah mengenai kompensasi yang akan diberikan kepada pejabat/pemimpin yang bersifat korup dan khianat terhadap rakyat, serta tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu siksa yang berat di akhirat kelak, yaitu siksa yang pedih di neraka.

Sahabatku, semoga artikael ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi acuan bagi opini kita, bahwa jabatan, kekeuasaan serta kehormatan jangan sampai membutakan mata hati kita. 
Barokallahu fiikum, wabillahi taufiq wal hidayah, assalamu alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.
Follow my FB account
https://www.facebook.com/asyhaduamrin2

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar